Senin, 19 Desember 2011

GEGURITAN


Nama :  Afiliasi Ilafi
Nim : 2611411001
Prodi : Sastra jawa,S1


NGAMPURANEN AKU
                                                                                                 Dening : Idhamsumirat
Sayahing ati iki
Karasa abot . . .
Ngabot-ngaboti jejeging ati

Ngoyak sakemper kang durung mesthi
Kaya ngenteni tibaning udan ing mangsa katiga

Kowe iki kepriye utawa aku  kang mesthi kepiye
Wis dakcoba
Dakcoba ngowahi lakuku marang sliramu

Nanging kepiye maneh
Kowe iki ora tau ngrasa tekaning atiku
Ati kang banget tresna marang sliramu

Kaya-kaya iki pancen  nasibku kaya mangkene
Nasibing rasa karana-rana katerak maruta

Nimas, ngapurane aku
Ngapura menawa aku tresna marang sliramu

Pajebar  semangat  No 24-11juni2011
                                                                                                 Halaman 40  

Analis Geguritan “Ngapuranen aku” Karya dari Idhamsumirat.
Maksud dari geguritan di atas adalah : Seorang lelaki sedang merasakan panah-panah asmara kepada seorang wanita, akan tetapi wanita tersebut tidak tahu dan tak mau tahu apa yang dirasakan sang lelaki tersebut.  Lelaki dan wanita tersebut merasa bingung apa yang harus dilakukan, akhirnya sang lelaki tersebut hanya bisa mengutarakannya lewat kata-kata dalam sebuah geguritan.
Dalam geguritan  yang berjudul “Ngapuranen aku” , pengarang menggunakan diksi yang bisa mewakili makna-makna yang sebenarnya. Setiap kata yang ditulis oleh pengarang,kata yang digunakan mengandung nilai estetika, akan tetapi totalitas nilai-nilai estetika itu sendiri berada pada isi geguritan tersebut. Ciri khas karya sastra adalah model bahasa,yang artinya aspek-aspek keindahan karya sastra sebagian terbesar ditampilkan melalui medium bahasanya geguritan tersebut. Dalam karya sastra gaya bahasa memang memegangperanan yang sangat penting. Bahasa terdiri dari bahasa lisan atau bahasa tulisan. Bahasa lisan itu digunakan dalam tradisi sastra tulis. Gaya bahasa terkandung unsur-unsur keindahan dengan berbagai bentuk,tetapi perlu disadari bahwa untuk memahami gaya bahasa yang diperlukan pemahaman dasar stilistika sastra yang sangat teramat beragam bentuknya.  Kualitas dari sebuah geguritan akan berubah sesuai dengan ruang dan waktu, artinya dalam nilai suatu geguritan ditentukan melalui hubungan antara karya sastra dengan pengarang disatu pihak. Karya sastra dengan para pembaca sebagai proses dimana resepsi dipihak yang lain. Keberhasilan karya sastra didasarkan atas bagaimana cara menciptakan,cara membuatnya,cara merangkai kata-katanya,bukan pada bahan utuk menciptakan geguritan atau karya sastra lainnya.

Jumat, 25 November 2011

ANALISIS PEWAYANGAN DEWA RUCI

Sepenggal kisah dari lakon Ki Nartosabdho - Dewa Ruci

Sang Bima nyemplung di samudra nan ganas mengikuti perintah gurunya, Begawan Durna, untuk mencari “air kehidupan” guna menggapai kesempurnaan hidup, Tirta Pawitra Mahening Suci. Badan terombang-ambing dihempas dan diterjang ganas ombak, seolah kapas dipermainkan tiupan angin kencang di angkasa nan maha luas. Werkudara sudah pasrah akan nasib dirinya. Namun tekadnya sungguh luar biasa, tidak goyah oleh kondisi tubuh yang makin lemah.
Tiba-tiba dihadapannya, muncullah seekor naga yang luar biasa besarnya menghadang laju Bima. Kyai Nabat Nawa, naga raksasa itu, langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan menggigit betis Adik Yudhistira itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi mangsanya.

Namun badan Werkudara tidak ikut hancur karena tekadnya tidak lantas luntur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan naga. Berhasil ! Seketika kemudian Bima melesat menuju leher sang naga untuk ditikam dengan kuku Pancanaka.
Raung kesakitan yang memekakan telinga mengiringi jatuhnya sang naga. Mengiringi kematian badan raksasa itu hingga mengambang memenuhi pandangan.  Disekelilingnya, air laut memerah oleh darah.
Werkudara begitu lelah. Sudah hilang kesadarannya. Serasa jiwa melayang, tidak ingat apakah masih hidup atau sudah tiada. Cukup lama jiwa sang ksatria itu melanglang tak tentu rimba.
Hingga saat tersadar, betapa terkejut Bima ketika dirinya merasa menginjak tanah, menapak kembali kehidupan. Pandangannya melihat bahwa dirinya berada dalam suatu pulau kecil ditengah lautan luas di dasar samudra itu. Alangkah indahnya pulau itu yang disinari oleh cahaya-cahaya kemilau menghiasi nuansa sekeliling.
Saat rasa begitu terbuai oleh ketakjuban, tiba-tiba Bima semakin dikejutkan oleh datangnya Bocah Bajang yang diiringi oleh cahaya yang mengalahkan cahaya yang ada. Cahaya diatas Cahaya. Bojah Bajang itu sungguh kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan perawakan Bima. Bocah Bajang berjalan perlahan menghampirinya.
“Aku sungguh heran sekali, sepertinya sudah saatnya kematian menjemputku. Sama sekali aku tidak merasakan kehidupan lagi. Namun saat kutelusuri pandangan ke badan sampai ke ujung kaki, ternyata aku masih menyentuh bumi. Hilang wujudnya naga  yang menggigit pahaku, tak dinyana aku sekarang tersangkut di pulai kecil yang begitu indah. Tetumbuhan berbuah bergelantungan diselimuti cahaya. Namun terangnya cahaya tadi masih kalah dengan cahaya yang datang mengiringi Bocah Bajang menuju kesini”
“Ayo mengakulah Bocah Bajang, siapa dirimu sebenarnya. Kamu bermain kesini siapa yang mengantarkan dan mengapa kamu tidak terpengaruh oleh ikan-ikan yang ganas yang sedang berpesta melahap darah naga”
“Werkudara, Kamu jangan gampang pergi bila belum mengetahui dengan tepat tempat yang akan kamu tuju. Kamu jangan gampang makan tanpa tahu apa manfaat yang terkandung dalam makanan itu. Jangan sekali-kali berpakaian, bila tidak mengetahui bagaimana cara yang benar dalam berbusana. Ibaratnya, pernah ada seorang dari gunung yang ingin membeli emas di kota. Saat terjadi transaksi dengan pedagang, orang gunung tadi hanya diberi selembar kertas berwarna kuning yang dianggap sebagai emas murni. Maka berhati-hatilah terhadap segala sesuatu, semua tindakan harus diiringi berdasarkan ilmunya.”


“Perkenalkan Werkudara, saya adalah Dewa Kebahagian berjuluk Sang Hyang Bathara Dewa Ruci”
Seketika duduk bersimpuh Bima dihadapan sosok suci nan kecil itu. Seumur hidup, Bima tidak pernah “basa karma” kepada siapa-pun, bahkan kepada Bathara Guru sekalipun. Namun di hadapan sosok suci ini Bima sungguh tunduk dan sangat takjim bertutur.
Kemudian Werkudara menjelaskan maksudnya hingga sampai diujung samudra dan bertemu dengan Dewa Ruci ini.
Dewa ruci mengemukakan bahwa Werkudara wajib mendengarkan apa yang akan diuraikan terkait dengan apa yang sedang dicarinya :
  • Apakah ilmu kesempurnaan hidup itu ? Ilmu kesempurnaan hidup ini akan diperoleh bila telah sempurna hidupnya. Hidup sudah tidak tergantung lagi kepada keinginan-keinginan dunia lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia masih menggunakan daya panasnya matahari, daya dari semilir angin, segarnya air dan masih menginjak bumi dibawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna karena yang Sempurna itu hanyalah Sang Pencipta. Meskipun ada manusia yang katanya mempunyai ilmu yang linuwih, mampu melakukan ini, mengerjakan itu, pasti ada kekurangannya, ada cacatnya.
  • Apakah “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu ? Tidak akan dapat diperoleh wujud air itu dimanapun, termasuk ditempat ini. “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu hanyalah sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya.
    • Tirta : air, kehidupan. Dimana ada air disitu ditemui kehidupan
    • Pawitra : bening. Air bening, tidak hanya dilihat dari wujud air yang bening namun juga harus dilihat dari kegunaannya menghidupi semua makhluk, manusia, hewan dan tumbuhan.
    • Mahening : dari kata Maha dan ening yang mewujudkan arti ketentraman lahir dan batin
    • Suci : terhindar dari dosa
Jelasnya, didalam menjalani hidup ini, mencarilah kehidupan yang sempurna yang mampu memberikan ketentraman lahir dan batin, mampu menghindarkan diri dari dosa-dosa yang menyelimuti dirinya untuk menggapai kesucian.
Namun petunjuk itu belum mampu diperoleh banyak manusia dari dulu hingga kini meskipun peyunjuk itu tlah lama adanya.
Bila ingin mengetahui hidup yang langgeng, tentram terhindar dari kegalauan dan kekecewaan, kalau sudah dapat menemukan “alam jati”. Dimanakah Alam Jati itu ? Tidak bisa dilihat oleh mata, hanya mampu dirasakan melalui cipta. Bima kemudian disuruh memasuki gua garba Dewa Ruci.
“Duh Batara … bagaimana hamba mampu mengerti alam jati dengan memasuki badan paduka. Badan hamba begitu besar sementara Paduka begitu kecil. Bahkan, kelingking hamba saja tidak akan mampu masuk ke badan paduka.”
“Hai Werkudara, besar mana kamu dengan jagad ? Bahkan Gunung dan samudrapun mampu saya terima. Percayalah, masuklah kamu melalui telinga kiriku.”
Seketika tanpa tahu apa yang terjadi, maka Bima tiba-tiba melewati telinga Dewa Ruci dan akhirnya sampai ke gua garba Sang Dewa.
Dan saat telah berada di gua garba Dewa Ruci, yang ditemui Bima hanyalah perasaan tentram belaka.
“Pukulun, hamba sekarang hidup dimana ? Hamba melihat tempat yang begitu luas seakan tanpa tepi, begitu terang tanpa bayangan. Terangnya bukan karena cahaya mentari, namun sangat nyata dan indah. Hamba tidak tahu arah kiblat, mana utara selatan, mana barat timur. Pun tidak tahu apakah ini di bawah atau di atas, depan atau belakang. Hamba masih dapat melihat dengan baik, dan mendengar, namun kenapa hamba tidak melihat badan hamba sendiri. Yang hamba rasakan hanya kedamaian dan ketentraman semata. Hamba hidup di alam mana ini Pukulun ?”
“Werkudara, kamu sekarang berada di alam yang bernama “Loka Baka”, alam kelanggengan, alam jati. Kamu dapat melihat dan mendengar dengan nyata namun tidak mampu melihat dirimu sendiri, itulah yang dinamakan Jagat Lagnyana, berada dalam alam kematian namun masih hidup, merasakan mati namun masih hidup”
“Hamba melihat Nyala satu tapi mempunyai cahaya delapan”
“Nyala satu cahaya delapan disebut pancamaya. Panca bukan berarti lima tapi beraneka rupa. Sedangkan delapan cahaya tadi adalah daya kehidupan lahir batin yaitu : cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya bintang, cahaya mendung, cahaya bumi, cahaya, api, cahaya air, cahaya angin. Cahaya-cahaya itulah yang mampu menghidupi kehidupan alam”
“Cahya mentari, bulan dan bintang mewujudkan badan halus manusia, roh. Sedangkan cahya bumi, api, air dan angin mewujudkan badan kasar manusia. Ketujuh cahya yang telah menyatu disebut wahyu nungkat gaib, satu yang samar. Namun hidup haruslah berlandaskan kepada “pramana” yang adalah atas dorongan Sang Hyang Suksma”
“Pukulun, hamba melihat 4 cahaya 4 warna”
“4 Cahaya dari terjadi dari hawa 4 perkara, merah adalah dorongan hawa nafsu, hitam perlambang kesentausaan namun berwatak brenggeh, kuning dorongan keinginan namun berwatak jail dan putih merupakan dorongan kesucian. Ketiga watak merah, hitam dan kuning senantiasa mengganggu watak putih yang sendirian. Kalau tidak mempunyai keteguhan sikap dalam menghadapi godaan ketiga cahya tadi maka cahya putih akan ternoda. Namun bila cahya putih tadi berjalan secara lurus dalam kebenaran, maka ketiga cahya yang lain akan menyingkir, hilang, musnah dengan sendirinya.


“Kalau begitu, ijinkanlah hamba tinggal disini selamanya. Sebab kalau hamba kembali kealam wadag maka pasti akan menemui berbagai derita sengsara. Sementara di sini yang hamba temui dan rasakan hanyalah kedamaian dan ketentraman semata”
“Werkudara, sikap yang begitu adalah salah, tidak sesuai dengan sikap satria yang harus memenuhi kewajiban di dunia dalam menegakan kebenaran dan memberantas kemungkaran. Kamu disini hanya diperlihatkan alam jati dan untuk saat ini belum saatnya kamu tinggal disini. Suatu saat nanti kamu pasti akan menikmati alam itu.”
“Keluarlah segera kamu dari gua garba-ku untuk segera memenuhi tugas kewajiban seorang satria. Tugas pertamamu telah menanti yaitu menyelamatkan gurumu, Bagawan Durna, yang akan nglalu njebur samudra.”
Maka berakhirlah pertemuan indah anatar Bima dengan Dewa Ruci yang mempertebal keyakinannya untuk tetap selalu berjuang memenuhi tugas kewajiban sebagai seorang manusia utama di muka bumi ini





Analisis Dewa Ruci :

Ø Humor
Ketika gareng,petruk,semar dan bagong menghadap ke ayahandanya untuk meminta agar diajarkan ilmu

Ø  Kenimatan
Pada saat Bratasena masuk ke dalam samudra

Ø Kesedihan
Pada saat kunti harus melepaskan Bratasena untuk mencari ilmu

Ø Kemarahan
Sengkuni marah ketika tahu bahwa Bratasena mau menuntut ilmu
Ø Keberanian
Perjalanan bratasena ketika mencari ilmu yang dimana harus melewati brbagai macam halangan

Ø Ketakutan
Permadi takut ketika bratasena belum pulang

Ø Keheranan
Bratasena menuju samudra dan anoman mencoba menghalangi tekatnya dalam mencari ilmu betapa besar kemauannya.

Ø Ketegangan
Ketika bratasena dihadang oleh dua raksasa dan terjadilah pertengkaran hebat lalu bratasena itu menang lalu raksasa itu berubah menjadi dewa lantas kemudian bratasena diberi hadiah sebuah cincin.