Jumat, 25 November 2011

ANALISIS PEWAYANGAN DEWA RUCI

Sepenggal kisah dari lakon Ki Nartosabdho - Dewa Ruci

Sang Bima nyemplung di samudra nan ganas mengikuti perintah gurunya, Begawan Durna, untuk mencari “air kehidupan” guna menggapai kesempurnaan hidup, Tirta Pawitra Mahening Suci. Badan terombang-ambing dihempas dan diterjang ganas ombak, seolah kapas dipermainkan tiupan angin kencang di angkasa nan maha luas. Werkudara sudah pasrah akan nasib dirinya. Namun tekadnya sungguh luar biasa, tidak goyah oleh kondisi tubuh yang makin lemah.
Tiba-tiba dihadapannya, muncullah seekor naga yang luar biasa besarnya menghadang laju Bima. Kyai Nabat Nawa, naga raksasa itu, langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan menggigit betis Adik Yudhistira itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi mangsanya.

Namun badan Werkudara tidak ikut hancur karena tekadnya tidak lantas luntur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan naga. Berhasil ! Seketika kemudian Bima melesat menuju leher sang naga untuk ditikam dengan kuku Pancanaka.
Raung kesakitan yang memekakan telinga mengiringi jatuhnya sang naga. Mengiringi kematian badan raksasa itu hingga mengambang memenuhi pandangan.  Disekelilingnya, air laut memerah oleh darah.
Werkudara begitu lelah. Sudah hilang kesadarannya. Serasa jiwa melayang, tidak ingat apakah masih hidup atau sudah tiada. Cukup lama jiwa sang ksatria itu melanglang tak tentu rimba.
Hingga saat tersadar, betapa terkejut Bima ketika dirinya merasa menginjak tanah, menapak kembali kehidupan. Pandangannya melihat bahwa dirinya berada dalam suatu pulau kecil ditengah lautan luas di dasar samudra itu. Alangkah indahnya pulau itu yang disinari oleh cahaya-cahaya kemilau menghiasi nuansa sekeliling.
Saat rasa begitu terbuai oleh ketakjuban, tiba-tiba Bima semakin dikejutkan oleh datangnya Bocah Bajang yang diiringi oleh cahaya yang mengalahkan cahaya yang ada. Cahaya diatas Cahaya. Bojah Bajang itu sungguh kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan perawakan Bima. Bocah Bajang berjalan perlahan menghampirinya.
“Aku sungguh heran sekali, sepertinya sudah saatnya kematian menjemputku. Sama sekali aku tidak merasakan kehidupan lagi. Namun saat kutelusuri pandangan ke badan sampai ke ujung kaki, ternyata aku masih menyentuh bumi. Hilang wujudnya naga  yang menggigit pahaku, tak dinyana aku sekarang tersangkut di pulai kecil yang begitu indah. Tetumbuhan berbuah bergelantungan diselimuti cahaya. Namun terangnya cahaya tadi masih kalah dengan cahaya yang datang mengiringi Bocah Bajang menuju kesini”
“Ayo mengakulah Bocah Bajang, siapa dirimu sebenarnya. Kamu bermain kesini siapa yang mengantarkan dan mengapa kamu tidak terpengaruh oleh ikan-ikan yang ganas yang sedang berpesta melahap darah naga”
“Werkudara, Kamu jangan gampang pergi bila belum mengetahui dengan tepat tempat yang akan kamu tuju. Kamu jangan gampang makan tanpa tahu apa manfaat yang terkandung dalam makanan itu. Jangan sekali-kali berpakaian, bila tidak mengetahui bagaimana cara yang benar dalam berbusana. Ibaratnya, pernah ada seorang dari gunung yang ingin membeli emas di kota. Saat terjadi transaksi dengan pedagang, orang gunung tadi hanya diberi selembar kertas berwarna kuning yang dianggap sebagai emas murni. Maka berhati-hatilah terhadap segala sesuatu, semua tindakan harus diiringi berdasarkan ilmunya.”


“Perkenalkan Werkudara, saya adalah Dewa Kebahagian berjuluk Sang Hyang Bathara Dewa Ruci”
Seketika duduk bersimpuh Bima dihadapan sosok suci nan kecil itu. Seumur hidup, Bima tidak pernah “basa karma” kepada siapa-pun, bahkan kepada Bathara Guru sekalipun. Namun di hadapan sosok suci ini Bima sungguh tunduk dan sangat takjim bertutur.
Kemudian Werkudara menjelaskan maksudnya hingga sampai diujung samudra dan bertemu dengan Dewa Ruci ini.
Dewa ruci mengemukakan bahwa Werkudara wajib mendengarkan apa yang akan diuraikan terkait dengan apa yang sedang dicarinya :
  • Apakah ilmu kesempurnaan hidup itu ? Ilmu kesempurnaan hidup ini akan diperoleh bila telah sempurna hidupnya. Hidup sudah tidak tergantung lagi kepada keinginan-keinginan dunia lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia masih menggunakan daya panasnya matahari, daya dari semilir angin, segarnya air dan masih menginjak bumi dibawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna karena yang Sempurna itu hanyalah Sang Pencipta. Meskipun ada manusia yang katanya mempunyai ilmu yang linuwih, mampu melakukan ini, mengerjakan itu, pasti ada kekurangannya, ada cacatnya.
  • Apakah “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu ? Tidak akan dapat diperoleh wujud air itu dimanapun, termasuk ditempat ini. “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu hanyalah sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya.
    • Tirta : air, kehidupan. Dimana ada air disitu ditemui kehidupan
    • Pawitra : bening. Air bening, tidak hanya dilihat dari wujud air yang bening namun juga harus dilihat dari kegunaannya menghidupi semua makhluk, manusia, hewan dan tumbuhan.
    • Mahening : dari kata Maha dan ening yang mewujudkan arti ketentraman lahir dan batin
    • Suci : terhindar dari dosa
Jelasnya, didalam menjalani hidup ini, mencarilah kehidupan yang sempurna yang mampu memberikan ketentraman lahir dan batin, mampu menghindarkan diri dari dosa-dosa yang menyelimuti dirinya untuk menggapai kesucian.
Namun petunjuk itu belum mampu diperoleh banyak manusia dari dulu hingga kini meskipun peyunjuk itu tlah lama adanya.
Bila ingin mengetahui hidup yang langgeng, tentram terhindar dari kegalauan dan kekecewaan, kalau sudah dapat menemukan “alam jati”. Dimanakah Alam Jati itu ? Tidak bisa dilihat oleh mata, hanya mampu dirasakan melalui cipta. Bima kemudian disuruh memasuki gua garba Dewa Ruci.
“Duh Batara … bagaimana hamba mampu mengerti alam jati dengan memasuki badan paduka. Badan hamba begitu besar sementara Paduka begitu kecil. Bahkan, kelingking hamba saja tidak akan mampu masuk ke badan paduka.”
“Hai Werkudara, besar mana kamu dengan jagad ? Bahkan Gunung dan samudrapun mampu saya terima. Percayalah, masuklah kamu melalui telinga kiriku.”
Seketika tanpa tahu apa yang terjadi, maka Bima tiba-tiba melewati telinga Dewa Ruci dan akhirnya sampai ke gua garba Sang Dewa.
Dan saat telah berada di gua garba Dewa Ruci, yang ditemui Bima hanyalah perasaan tentram belaka.
“Pukulun, hamba sekarang hidup dimana ? Hamba melihat tempat yang begitu luas seakan tanpa tepi, begitu terang tanpa bayangan. Terangnya bukan karena cahaya mentari, namun sangat nyata dan indah. Hamba tidak tahu arah kiblat, mana utara selatan, mana barat timur. Pun tidak tahu apakah ini di bawah atau di atas, depan atau belakang. Hamba masih dapat melihat dengan baik, dan mendengar, namun kenapa hamba tidak melihat badan hamba sendiri. Yang hamba rasakan hanya kedamaian dan ketentraman semata. Hamba hidup di alam mana ini Pukulun ?”
“Werkudara, kamu sekarang berada di alam yang bernama “Loka Baka”, alam kelanggengan, alam jati. Kamu dapat melihat dan mendengar dengan nyata namun tidak mampu melihat dirimu sendiri, itulah yang dinamakan Jagat Lagnyana, berada dalam alam kematian namun masih hidup, merasakan mati namun masih hidup”
“Hamba melihat Nyala satu tapi mempunyai cahaya delapan”
“Nyala satu cahaya delapan disebut pancamaya. Panca bukan berarti lima tapi beraneka rupa. Sedangkan delapan cahaya tadi adalah daya kehidupan lahir batin yaitu : cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya bintang, cahaya mendung, cahaya bumi, cahaya, api, cahaya air, cahaya angin. Cahaya-cahaya itulah yang mampu menghidupi kehidupan alam”
“Cahya mentari, bulan dan bintang mewujudkan badan halus manusia, roh. Sedangkan cahya bumi, api, air dan angin mewujudkan badan kasar manusia. Ketujuh cahya yang telah menyatu disebut wahyu nungkat gaib, satu yang samar. Namun hidup haruslah berlandaskan kepada “pramana” yang adalah atas dorongan Sang Hyang Suksma”
“Pukulun, hamba melihat 4 cahaya 4 warna”
“4 Cahaya dari terjadi dari hawa 4 perkara, merah adalah dorongan hawa nafsu, hitam perlambang kesentausaan namun berwatak brenggeh, kuning dorongan keinginan namun berwatak jail dan putih merupakan dorongan kesucian. Ketiga watak merah, hitam dan kuning senantiasa mengganggu watak putih yang sendirian. Kalau tidak mempunyai keteguhan sikap dalam menghadapi godaan ketiga cahya tadi maka cahya putih akan ternoda. Namun bila cahya putih tadi berjalan secara lurus dalam kebenaran, maka ketiga cahya yang lain akan menyingkir, hilang, musnah dengan sendirinya.


“Kalau begitu, ijinkanlah hamba tinggal disini selamanya. Sebab kalau hamba kembali kealam wadag maka pasti akan menemui berbagai derita sengsara. Sementara di sini yang hamba temui dan rasakan hanyalah kedamaian dan ketentraman semata”
“Werkudara, sikap yang begitu adalah salah, tidak sesuai dengan sikap satria yang harus memenuhi kewajiban di dunia dalam menegakan kebenaran dan memberantas kemungkaran. Kamu disini hanya diperlihatkan alam jati dan untuk saat ini belum saatnya kamu tinggal disini. Suatu saat nanti kamu pasti akan menikmati alam itu.”
“Keluarlah segera kamu dari gua garba-ku untuk segera memenuhi tugas kewajiban seorang satria. Tugas pertamamu telah menanti yaitu menyelamatkan gurumu, Bagawan Durna, yang akan nglalu njebur samudra.”
Maka berakhirlah pertemuan indah anatar Bima dengan Dewa Ruci yang mempertebal keyakinannya untuk tetap selalu berjuang memenuhi tugas kewajiban sebagai seorang manusia utama di muka bumi ini





Analisis Dewa Ruci :

Ø Humor
Ketika gareng,petruk,semar dan bagong menghadap ke ayahandanya untuk meminta agar diajarkan ilmu

Ø  Kenimatan
Pada saat Bratasena masuk ke dalam samudra

Ø Kesedihan
Pada saat kunti harus melepaskan Bratasena untuk mencari ilmu

Ø Kemarahan
Sengkuni marah ketika tahu bahwa Bratasena mau menuntut ilmu
Ø Keberanian
Perjalanan bratasena ketika mencari ilmu yang dimana harus melewati brbagai macam halangan

Ø Ketakutan
Permadi takut ketika bratasena belum pulang

Ø Keheranan
Bratasena menuju samudra dan anoman mencoba menghalangi tekatnya dalam mencari ilmu betapa besar kemauannya.

Ø Ketegangan
Ketika bratasena dihadang oleh dua raksasa dan terjadilah pertengkaran hebat lalu bratasena itu menang lalu raksasa itu berubah menjadi dewa lantas kemudian bratasena diberi hadiah sebuah cincin.

PARIKAN DAN PARIBASAN

 PARIKAN

Definisi parikan ialah tradisi lisan, budaya lisan dan adat lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasehat, balada, atau lagu. Pada cara ini, maka mungkinlah suatu masyarakat dapat menyampaikan sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan dan pengetahuan lainnya ke generasi penerusnya tanpa melibatkan bahasa tulisan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi_lisan)


Definisi lain, Parikan iku unen-unen kang dumadi seka rong (2) ukara. Ukara sepisanan kanggo narik kawigaten, kang kapindho minangka isi. Parikan iki kaya pantun nanging mung rong larik. Parikan migunaake purwakanthi swara. Purwakanthi parikan bisa digawe mawa petungan kang adhedhasar petungan wanda (suku kata). (http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi_lisan

Parikan adalah bunyi yang pada bagian pertama sebagai sampiran atau penentu suara, kedua adalah berupa isi. Diungkap dalam bahasa Jawa,
Parikan yaiku ‘unen – unen rong perangan perangan (bagian) kapisan kanggo pancandan (sampiran) (kanggo pentokaning swara), dene perangan kapindho mawa teges (merupakan isi) kang dikarepake.’
Parikan adalah bunyi yang terdiri atas dua bentuk yang pertama untuk menarik perhatian yang berupa sampiran dan yang kedua berupa isi.
Parikan yaiku unen-unen kang dumadi seka rong (2) ukara. Ukara sepisanan kanggo narik kawigaten, kang kapindho minangka isi. Parikan iki kaya pantun nanging mung rong larik. Parikan migunaake purwakanthi swara. Purwakanthi parikan bisa digawe mawa petungan kang adhedhasar petungan wanda (suku kata)
http://jv.wikipedia.org/wiki/Parikan
.

Peran pantun (parikan) sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang eharusnya, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata.
Parikan ada dua warna, (dua jenis) yaitu
1. Terdiri atas 2 kalimat yang bersajak.
2. Saben saukara kedadean saka rong gatra (larik). Dalam hal ini adalah bentuk parikan panjang
3. Ukara pertama berupa purwaka (sampiran), ukara kedua berupa uwose (isi)
.


Saka Wikipédia, Ènsiklopédhi Bébas ing basa Jawa / Saking Wikipédia, Bauwarna Mardika mawi basa Jawi
Parikan iku unen-unen kang dumadi seka rong (2) ukara. Ukara sepisanan kanggo narik kawigaten, kang kapindho minangka isi. Parikan iki kaya pantun nanging mung rong larik. Parikan migunaake purwakanthi swara. Purwakanthi parikan bisa digawe mawa petungan kang adhedhasar petungan wanda (suku kata).
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Parikan atau kidungan adalah salah satu bagian dalam kesenian tradisional ludruk. Di dalam ludruk, ada tiga jenis parikan saat bedayan (bagian awal permainan ludruk). Yaitu, lamba (parikan panjang yang berisi pesan), kecrehan (parikan pendek yang kadang-kadang berfungsi menggojlok orang) dan dangdutan (pantun yang bisa berisi kisah-kisah kocak).
CONTOH PARIKAN :
1.     Kucing cilik kepidak jaran
Jran Teji Kecemplung kali
Maling pitik Mlebu Pakunjaran
Sing Korupsi dianggep lali

2.     Sego beras di buntel godong
Godong tekik bolong-bolong
Bojo Ayu moblong-moblong
Leno sitik colong uwong

3.     Motor cilik larang regane
Motor kuno moro’o mrene
Wong cilik rekoso uripe
Perkoro lengo ra ono entek’e


4.     Sego gudeg soko kahuripan
Kahuripan jenenge sepur
Wis Mbededeg golek panguripan
Panguripan di sikat sing nduwur

5.     Kucing limo ilang buntut’e
Buntut sapi dinggo pecutan
Perkoro lengo ora ono entek’e
Jebul di korupsi sing duwe
jabatan

Contoh parikan sendiri
A.  
1.     Gajah diblangkoni
              Isa klojah ra iso nglakoni
2.     Pak gayus tuku wedus
Mas yus durung adus
3.     Ana jus kentange kei es
Mas yus bintange aries
4.     Bubur sumsum anta rasane
Bu sum kusuma arane
5.     Ana sekar kena udut
Dzulfiqar pancen gendut
6.     Ana loyang dinai es
Nonton wayang nang TBRS
7.     Ana gedang diwolak walik
Durung madang aja balik

Contoh Parikan Buatan Sendiri.



1.     Pring ori tugel pucuke
Di gawe batang seruling
Ning ora saiki besuke
Asal urip bisa kesanding

2.     Mangan gedang buang kulite
Dibuang tempat sampah
Olih bujang akeh duite
Asal rejekine halal berkah

3.     Omah gedhong langka isine
Sanajan mewah tapi bolongi
dadi wong seneng gengsine
Mundhak akeh sing ngomongi

4.     Gerong iku mung saderma
Kanggo angiringi nembang jawi
Wong urip mung sadela
Mula pereka marang ilahi

5.     Mancing iwak ana segara
Yen olih digawa bali
Saiki lagi mentingake awak
Kanggo nglatih marang ilahi

6.     Numpak kreta mudun poncol
Nggawa barang numpak becak
Jare sapa dukun jempol
Ngobati dewe malah cilaka

7.     Bungah ngeh lan swarane
Lagi mireng ana kupingku
Kuliah diunnes akeh kancane
Dadi seneng rasa atiku

8.     Tradisi slametan wis biasa
Gunungan iku dadi mangsa
Generasi mudha harapan bangsa
Sing membangun negara indonesia

9.     Jajan bolu karo tela
ajining diri saka busana
sanajan aku wong desa
Nanging ora geden rumangsa






PARIBASAN
Paribasan yaiku unen-unen kang wis gumathok racikane lan mawa teges tartemtu. Dhapukaning paribasan awujud ukara utawa kumpulaning tembung (frase), lan kalebu basa pinathok. Racikaning tembung ora owah, surasa utawa tegese uga gumathok, lumrahe ateges entar. Tegese tembung lumereg, gumantung surasa lan karep kang kinandhut ing unen-unen. Paribasan ngemu teges: tetandhingan, pepindhan, utawa pepiridan (saemper pasemon). Kang disemoni manungsa, ulah kridhaning manungsa, utawa sesambunganing manungsa lan alam uripe.
Paribasan ana kang sinebut bebasan lan saloka. Diarani bebasan Manawa lereging teges nggepok sesipatan utawa kaanan kang sambung rapet karo ulah kridhaning manungsa. Diarani saloka menawa lereging teges magepokan karo sing disemoni, disanepani, utawa dipindhakake.
 
CONTOH PARIBASAN


Anak-anakan timun = wong kang ngepek bojo anake pupon
Andaka atawan wisaya = wong kang kena prakara banjur minggat amarga duwe pangira bakal kalah prakarane
Andaka ina tan wrin upaya = wong kang didakwa nyolong nanging ora ngaku, wasana kajibah nggoleki barang kang ilang
Awak pendhek budi ciblek = wong cilik tur asor bebudene
Adol lenga kari busik = dum dum barang, nanging sing andum ora oleh bagean
Akadang saksi = wong prakaran akeh sadulure kang dadi seksine
Ana bapang sumimpang = nyingkiri sakehing bebaya
Anirna patra = ngungkiri tulisane dhewe
Angin silem ing warih = tumindak ala kanthi sesidheman
Angon kosok = ngreti ulah kridhaning wong liya lan bisa empan papan tumindake
Asor kilang munggwing gelas = gunem manis tur marak ati lan bisa mranani sing krungu
Adhang-adhang tetese embung = nJagakake barang mung sakoleh-olehe
Aji godhong garing = wis ora ana ajine (asor banget)
Ana adulate ora ana begjane = arep nemu kabegjan, ning ora sida
Anggenthong umos = wong kang ora bisa nyimpen wewadi.
Angon mangsa = golek wektu kang prayoga kanggo tumindak.
Angon ulat ngumbar tangan = ngulatake kaanan, yen limpe banjur dicolong
Arep jamure emoh watange = gelem kepenake ora gelem rekasane
Asu belang kalung wang = wong asor nanging sugih
Asu gedhe menang kerahe = wong kang dhuwur pangkate mesthi wae luwih dhuwur panguwasane
Asu munggah ing papahan = wong ngrabeni tilas bojone sadulur tuwa
Ati bengkong oleh oncong = wong duwe niyat ala oleh dalan
Anak molah bapa kepradhah = wong tuwa melu repot amarga tumindake anake
Arep nengkane emoh pulute = gelem kepenak emoh nglakoni rekasane
Adigang, adigung, adiguna = seneng ngendelake kekuwatane, panguwasae, lan kepinterane
Ancik-ancik pucuking eri = tansah was sumelang
Asu marani gebug = njarag bebaya
Baladewa ilang gapite = wong gagah kang ilang kakuwatane, kaluhurane (ora duwe panguwasa)
Banyu pinerang ora bakal pedhot = pasulayane sedulur ora bakal medhotake pasedulurane
Bapa kesolah anak molah = yen wong tuwa oleh prakara, anak uga melu ngrasakae lan melu tanggung jawab
mBarung sinang = nyela-nyela wong guneman
mBalithuk kukum = mbudidaya ucul saka ing kukum utawa angger-angger
mBaguguk ngutha waton = mbangkang marang pamarentah
mBondhan tanpa ratu = mbangkang marang nagara
mBuru kidang lumayu = nguyak samubarang kang durung karuwan wekase
mBuwang rase nemu kuwuk = nyingkiri piala, nanging malah nemu piala kang luwih saka ala
mBuwang tilas = rewa-rewa ora mentas tumindak pagawe ala
Bathang lelaku = lunga ijen ngambah panggonan kang mbebayani
Beras wutah arang bali menyang takere = barang kang wis owah ora bakal bali kaya maune
mBidhung api rowang = ethok-ethok nulung nanging sejatine arep ngrusuhi
Blilu tau pinter durung nglakoni = wong bodho nanging sering nglakoni iku luwih pinter tinimbang wong pinter nanging durung tau nglakoni
Balung tinumpuk = anak loro dimantu tunggal dina
Bathang lelaku = wong lungan ijen liwat dalan kang gawat, ngemu baya pati
Bathang ucap-ucap = wong loro lungan liwat dalan kang gawat, ngemu baya pati


Contoh paribasan sendiri

1.   Sabda pandhita ratu,tan kena wola wali = Tidak boleh mengambil ucapan yang sudah keluar dari mulut
2.    Ana gula ana semut = panggonan sing akeh rejekine, mesti akeh sing nekani.
3.     Asu rebutan balung = rebutan utawa padudon sing ora mumpangati
4.   Abag-abang lambe = guneme mung lamis
5.   Ana catur mungkur = ora seneng nyampuri urusaning liya